TRADISI SULUH BALI
Wisatawan
mancanegara yang berulang kali berkunjung ke Bali tidak pernah merasa bosan dan
jenuh, karena selalu akan menemukan suasana baru serta tradisi serta seni
budaya yang unik dan menarik untuk dinikmati. Demikian pula, perpaduan panorama
alam sawah berundak-undak, lembah, pesisir pantai dan gunung dengan danau di
lerengnya merupakan panorama alam yang menambah daya tarik Bali bagi masyarakat
dunia.
Leluhur orang Bali
tidak pernah berpikir untuk menyeragamkan seni budaya sehingga sekitar 1.453
desa adat (pekraman) di delapan kabupaten dan satu kota di Bali mewarisi
kekhasan budaya masing-masing. “Di antara ribuan desa adat itu mewarisi tradisi
yang beragam, tidak ada yang yang sama satu sama lainnya,” tutur Dosen Fakultas
Dharma Duta Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut
Sumadi. Alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu mengatakan bahwa
masyarakat Bali dalam kehidupan bermasyarakat lebih mengedepankan kearifan
lokal prilaku yang bermakna sosial.
Dalam aktivitas
sehari-hari lebih mengutamakan kebersamaan yang dikenal dengan “menyama braya”
yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan. Sikap “menyama braya” orang
Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu “Tat Twam Asi” yang berarti hidup
rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang. Sikap “menyama braya” sejalan
dengan pengamalan yang lebih luas mempunyai makna maha tinggi dalam menjalin
keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk dalam menjalin
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam keutuhan NKRI.
Pengertian “Tat
twam asi” bisa dikembangkan menjadi “saya adalah kamu” dan “orang lain adalah
juga saudara kita”. Dengan demikian kehidupan sosial masyarakat Bali selalu
menekankan nilai-nilai kebersamaan, pemahaman makna kultural yang dilandasi
konsep toleransi, penghargaan, senasib seperjuangan, dan cinta kasih (paras
paros sarpanaya).
Demikian pula dalam
kehidupan desa adat yang kokoh dan lestari hingga sekarang, orang Bali selalu
bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam membangun kehidupan harmonis dan
bahagia, dengan selalu bekerja sama dalam suka maupun duka.
Kesetiakawanan dan
hubungan sosial yang harmonis itu dipopulerkan dengan konsep “Tri Hita Karana”
karena tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun juga memelihara hubungan
harmonis dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian
pada akhirnya bentuk pengamalan aktivtas keseharian itu tidak bisa lepas dari
kebudayaan dan adat-istiadat yang kini menjadi daya tarik wisatawan dalam dan
luar negeri, ujar pria kelahiran Gianyar 48 tahun yang silam.
Kearifan lokal
Ketut Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata
Bali menambahkan, hubungan agama, tradisi dan kebudayaan yang dianut masyarakat
Bali sangat erat, bahkan kebudayaan itu sangat ditentukan oleh agama sehingga
memunculkan kearifan lokal.
Kearifan lokal
sangat mudah terjadi dalam proses rekonstruksi ajaran agama dalam bentuk karya
sastra, kesenian, bangunan suci dan aspek pembangunan lainnya. Ketiga unsur
yang meliputi agama, adat dan kebudayaan terjalin secara harmonis merupakan
rangkaian yang saling mendukung.
Agama merupakan
sumber untuk menemukan asal, hakekat, dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk
merealisasikan diri dalam kehidupan serta kebudayaan adalah sarana untuk
mendapatkan nilai kehidupan di dunia ini.
Kearifan lokal
dalam perspektif umat Hindu Bali, jenisnya sangat beragam dan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis sesuai fungsinya, meliputi kearifan lokal
bagi konservasi dan pelestarian sumberdaya alam seperti ritual Tumpek
Bubuh/Tumpek Wariga, persembahan khusus untuk tumbuh-tumbuhan dan Tri Hita
Karana hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan
lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian pula
kearifan lokal yang berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM),
pengetahuan, seperti ritual Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan seperti
ritual Manusa Yadnya (upacara daur hidup), serta kearifan lokal untuk
pelestarian, pengembangan kebudayaan dan ilmu
Kearifan lokal Bali
bentuknya beragam, seperti ritual atau upacara (Panca Yadnya), bentuk sastra
(cerita rakyat. Legenda, mitologi, kidung, geguritan), bentuk nasehat dan
petuah. Sedangkan keragaman kearifan lokal Bali mencakup makna religius
(upacara tradisional), makna sosial (upacara dan integrasi komunitas, integrasi
kerabatan/ menyama braya ), makna ekonomis (upacara daun pertanian), makna
etika dan moral (upacara ngaben dan penyucian roh leluhur).
Leluhur orang Bali
dalam kehidupan sehari-hari juga mewariskan petuah yang sarat pemahaman
multikultur dalam bentuk pribahasa yang menjadi landasan idealisme kearifan
lokal, tutur Ketut Sumadi.Identitas budaya Ketut Sumadi menambahkan, keunikan
seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun itu telah diberdayakan
sebagai daya tarik wisata, karena masyarakat setempat menjaga citra dan
menunjukkan identitas budaya kepada masyarakat dunia.
Kekayaan
multikultural yang dimiliki masyarakat Bali, dalam pengembangan pariwisata
budaya memiliki peran strategis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh I Gede
Ardika, mantan Menteri Pariwisata pada tahun 2002 dan Prof I Gede Pitana (guru
besar Unud) tahun 2005 menyebutkan motivasi kedatangan wisatawan ke Bali lebih
banyak karena tertarik menyaksikan pernik tradisi dan kebudayaan Bali.
Dengan demikian
kebudayaan Bali terus dipromosikan dalam merebut pasar wisata, sehingga
peraturan daerah (Perda) Pariwisata Budaya melahirkan industri budaya tidak
bisa lepas dari “ekonomi politik” dan produksi kebudayaan oleh
perusahaan-perusahaan kapitalis.
Mempengaruhi kultur
masyarakat, khususnya menyangkut tekanan ide dan praktik pasar yang mempercepat
proses komodifikasi. Pengaruh pasar menjadi lebih kuat sejalan dengan
terikatnya penduduk ke suatu tatanan yang lebih luas ke dalam suatu gagasan,
nilai dan praktik yang bersifat nasional. Dengan demikian terjadi perubahan
yang disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu perubahan pusat kekuasaan ke
pasar dalam penataan sistem sosial. Orientasi tidak hanya bersifat nasional,
namun meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru.
Sumber daya yang
dapat dimobilisir jauh lebih luas, seperti modal dan sumber daya manusia.
Mobilisasi yang luas itu memicu munculnya mode produksi baru dalam kehidupan
masyarakat, sekaligus membuka banyak pilihan dalam jaringan yang lebih kompleks
melibatkan pasar. Oleh sebab itu pariwisata budaya seharusnya lebih menekankan
pada upaya memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu
objek daya tarik wisata dengan mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai
kebudayaan agama dan kehidupan alam Pulau Dewata yang berwawasan lingkungan
hidup.
Semua itu mencegah
dan meniadakan sedini mungkin pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan
oleh kegiatan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan Indonesia, khususnya
Bali sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara
berkelanjutan bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan, ujar Ketut Sumadi.
Disalin Dari blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar