Rabu, 21 Desember 2016

Tradisi suluh bali

TRADISI SULUH BALI

Wisatawan mancanegara yang berulang kali berkunjung ke Bali tidak pernah merasa bosan dan jenuh, karena selalu akan menemukan suasana baru serta tradisi serta seni budaya yang unik dan menarik untuk dinikmati. Demikian pula, perpaduan panorama alam sawah berundak-undak, lembah, pesisir pantai dan gunung dengan danau di lerengnya merupakan panorama alam yang menambah daya tarik Bali bagi masyarakat dunia.

Leluhur orang Bali tidak pernah berpikir untuk menyeragamkan seni budaya sehingga sekitar 1.453 desa adat (pekraman) di delapan kabupaten dan satu kota di Bali mewarisi kekhasan budaya masing-masing. “Di antara ribuan desa adat itu mewarisi tradisi yang beragam, tidak ada yang yang sama satu sama lainnya,” tutur Dosen Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi. Alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu mengatakan bahwa masyarakat Bali dalam kehidupan bermasyarakat lebih mengedepankan kearifan lokal prilaku yang bermakna sosial.


Dalam aktivitas sehari-hari lebih mengutamakan kebersamaan yang dikenal dengan “menyama braya” yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan. Sikap “menyama braya” orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu “Tat Twam Asi” yang berarti hidup rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang. Sikap “menyama braya” sejalan dengan pengamalan yang lebih luas mempunyai makna maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam keutuhan NKRI.

Pengertian “Tat twam asi” bisa dikembangkan menjadi “saya adalah kamu” dan “orang lain adalah juga saudara kita”. Dengan demikian kehidupan sosial masyarakat Bali selalu menekankan nilai-nilai kebersamaan, pemahaman makna kultural yang dilandasi konsep toleransi, penghargaan, senasib seperjuangan, dan cinta kasih (paras paros sarpanaya).

Demikian pula dalam kehidupan desa adat yang kokoh dan lestari hingga sekarang, orang Bali selalu bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam membangun kehidupan harmonis dan bahagia, dengan selalu bekerja sama dalam suka maupun duka.

Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis itu dipopulerkan dengan konsep “Tri Hita Karana” karena tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun juga memelihara hubungan harmonis dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian pada akhirnya bentuk pengamalan aktivtas keseharian itu tidak bisa lepas dari kebudayaan dan adat-istiadat yang kini menjadi daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri, ujar pria kelahiran Gianyar 48 tahun yang silam.

Kearifan lokal Ketut Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata Bali menambahkan, hubungan agama, tradisi dan kebudayaan yang dianut masyarakat Bali sangat erat, bahkan kebudayaan itu sangat ditentukan oleh agama sehingga memunculkan kearifan lokal.

Kearifan lokal sangat mudah terjadi dalam proses rekonstruksi ajaran agama dalam bentuk karya sastra, kesenian, bangunan suci dan aspek pembangunan lainnya. Ketiga unsur yang meliputi agama, adat dan kebudayaan terjalin secara harmonis merupakan rangkaian yang saling mendukung.

Agama merupakan sumber untuk menemukan asal, hakekat, dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan serta kebudayaan adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia ini.

Kearifan lokal dalam perspektif umat Hindu Bali, jenisnya sangat beragam dan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis sesuai fungsinya, meliputi kearifan lokal bagi konservasi dan pelestarian sumberdaya alam seperti ritual Tumpek Bubuh/Tumpek Wariga, persembahan khusus untuk tumbuh-tumbuhan dan Tri Hita Karana hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Demikian pula kearifan lokal yang berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM), pengetahuan, seperti ritual Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan seperti ritual Manusa Yadnya (upacara daur hidup), serta kearifan lokal untuk pelestarian, pengembangan kebudayaan dan ilmu

Penari Bali (Dari berbagai sumber)

Kearifan lokal Bali bentuknya beragam, seperti ritual atau upacara (Panca Yadnya), bentuk sastra (cerita rakyat. Legenda, mitologi, kidung, geguritan), bentuk nasehat dan petuah. Sedangkan keragaman kearifan lokal Bali mencakup makna religius (upacara tradisional), makna sosial (upacara dan integrasi komunitas, integrasi kerabatan/ menyama braya ), makna ekonomis (upacara daun pertanian), makna etika dan moral (upacara ngaben dan penyucian roh leluhur).

Leluhur orang Bali dalam kehidupan sehari-hari juga mewariskan petuah yang sarat pemahaman multikultur dalam bentuk pribahasa yang menjadi landasan idealisme kearifan lokal, tutur Ketut Sumadi.Identitas budaya Ketut Sumadi menambahkan, keunikan seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun itu telah diberdayakan sebagai daya tarik wisata, karena masyarakat setempat menjaga citra dan menunjukkan identitas budaya kepada masyarakat dunia.

Kekayaan multikultural yang dimiliki masyarakat Bali, dalam pengembangan pariwisata budaya memiliki peran strategis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh I Gede Ardika, mantan Menteri Pariwisata pada tahun 2002 dan Prof I Gede Pitana (guru besar Unud) tahun 2005 menyebutkan motivasi kedatangan wisatawan ke Bali lebih banyak karena tertarik menyaksikan pernik tradisi dan kebudayaan Bali.

Dengan demikian kebudayaan Bali terus dipromosikan dalam merebut pasar wisata, sehingga peraturan daerah (Perda) Pariwisata Budaya melahirkan industri budaya tidak bisa lepas dari “ekonomi politik” dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.

Mempengaruhi kultur masyarakat, khususnya menyangkut tekanan ide dan praktik pasar yang mempercepat proses komodifikasi. Pengaruh pasar menjadi lebih kuat sejalan dengan terikatnya penduduk ke suatu tatanan yang lebih luas ke dalam suatu gagasan, nilai dan praktik yang bersifat nasional. Dengan demikian terjadi perubahan yang disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial. Orientasi tidak hanya bersifat nasional, namun meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru.

Sumber daya yang dapat dimobilisir jauh lebih luas, seperti modal dan sumber daya manusia. Mobilisasi yang luas itu memicu munculnya mode produksi baru dalam kehidupan masyarakat, sekaligus membuka banyak pilihan dalam jaringan yang lebih kompleks melibatkan pasar. Oleh sebab itu pariwisata budaya seharusnya lebih menekankan pada upaya memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek daya tarik wisata dengan mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama dan kehidupan alam Pulau Dewata yang berwawasan lingkungan hidup.

Semua itu mencegah dan meniadakan sedini mungkin pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan Indonesia, khususnya Bali sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara berkelanjutan bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, ujar Ketut Sumadi.
Disalin Dari blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar