Minggu, 11 Desember 2016
Tradisi Nydranan(Bersih Desa) Sebagai
Ritual Tahunan
“Studi
kasus di desa klumutan,kabupaten Caruban”.
Budi
Ismail
Univesitas
Wearnes Madiun
budii1088@gmail.com
Tradisi ialah suatu adat istiadat atau
kebiasaan yang diwariskan oleh Nenek Moyang, dan yang di lakukan secara turun temurun.
Dan semua tersebut adalah suatu upacara tradisi yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Nyadranan adalah salah
satu bentuk upacara yang ada di pulau jawa. Nyadranan sebetulnya peninggalan
dari penganut agama Hindu yang berpadu dengan sentuhan agama Islam didalamnya.
Nyadranan(Bersih Desa) ialah suatu bentuk tradisi
upacara yang masih ada di kalangan masyarakat jawa khususnya, karena dalam
nyadranan masyarakat melakukan nyekar(ziarah makam) yang dipercaya mampu menghubungkan
antara sang Pencipta dengan danyang-danyang(para leluhur desa). Didalam nyadranan
adalah sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nyadranan merupakan salah satu tradisi yang masih ada di sebagian
kalangan masyarakat daerah, dan nyadranan adalah upacara tradisi tahunan, yang
biasa dilakukan oleh masyarakat pada bulan suro,
karena dalam hitungan jawa bulan suro
adalah bulan yang penuh mistik dan sakral.
Tradisi nyadranan di desa klumutan, di sebut juga dengan bersih desa, atau sedekah bumi. Karena di dalamnya terdapat rentetan ritual yang
dilakukan oleh masyarakat salah satu diantaranya ziarah dan kirab ke makam
danyang desa klumutan. Yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai orang
yang mbau rekso(menjaga) dan mbabat
alas(pendiri desa klumutan). Dan upacara tradisi tersebut di dalamnya betujuan
sebagai sarana berkumpulnya sanak saudara yang jauh dan sedekah masyarakat.
Tradisi nyadranan tersebut menjadi unik dan menarik, karena
masyarakat desa klumutan khususnya, mampu memegang teguh nilai-nilai dan moral
yang terkandung dalam tradisi tersebut. Walaupun seiring perkembangan
jaman,serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju.
Tradisi nyadranan memiiki pengertian
tersendiri yaitu, “selametan ing sasi suro
kangge nylameti poro danyang utawi leluwur(kang lumrah ana ing kuburan utawi papan sing kramat ngiras reresik tuwin
ngirim kembang)”, artinya dalam bahasa indonesia, “selamatan di bulan sura untuk menghormati
para leluhur(biasanya di
makam atau di tempat-tempat yang keramat
sekaligus membersihkan dan mengirim bunga)”,
Tradisi nyadran di Desa klumutan merupakan upacara yang
diselenggarakan sebagai bentuk mengenang peran leluhur desa dan bentuk syukur
masyarakat atas panen raya.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem,
ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu
tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue
tersebut selain dipakai munjung/ater-ater
(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga
dekat juga mendapatkan
bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan
sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya.
Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang
isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka
kepada Tuhan Yang Maha kuasa.Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga
dan anak-anak mengamini.
Suasana ceria anak-anak tergambar dengan
semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir
mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran
tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya,
seperti budaya gotong-royong, guyub-rukun, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai
nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut menamu di rumah-rumah
keluargga. Di sini ada hubungan kekerabatan,
kebersamaan, kasih sayang di antara warga. Di samping itu, semakin jelas adanya
nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar